Rabu, 23 November 2011 - 0 komentar

Putus

Ini sudah jam ke-3 aku duduk di bangku taman ini, terdiam.
Di sebelahku duduk seorang perempuan manis yang masih berstatus sebagai kekasihku, ia juga terdiam. Rambut sebahunya terurai lembut, menutupi wajah gelisahnya sore ini. Keningnya berkerut, tangannya sibuk dengan tombol-tombol di HP, aku tahu ia hanya memainkannya untuk mengusir kegelisahan.
Aku sendiri hanya menghitung seluruh kendaraan yang lewat sejak 3 jam yang lalu.
Di taman yang sepi ini, kalau aku tidak salah hitung ada 438 kendaraan bermotor yang melewati kami, aku bahkan membaca mereknya satu per satu. Tapi memangnya apa yang bisa kulakukan selain itu ?

Aku dan perempuan ini sudah bertengkar 9 hari ke belakang.
Dan aku bahkan benar-benar kehilangan akal memikirkan penyebabnya.

"Gara-gara jadian sama si Dean itu tuhh, si Vello jadi jarang maen sama kita-kita, hahahaha" masih teringat dengan jelas setiap intonasi dari kalimat itu dalam kepalaku. Aku yakin itu diucapkan dengan sengaja oleh Lia dan gengnya, teman-teman Vello, perempuan manis yang lagi lagi menghela nafas di sebelahku ini.

Entah atas alasan apa Vello memanggilku ke sini, ke tempat kesukaan kami ketika lelah dengan hari-hari. Tapi ia justru menepis tanganku saat aku hendak menyapanya 3 jam yang lalu.

Jadi dari situ lah diam kami dimulai. Sekarang jumlah kendaraan menjadi 479, bahkan tadi ada truk gandeng yang begitu besar sehingga aku memutuskan untuk menghitungnya 'dua'.

480.
481.
482.

"Dean" oke, Vello mulai bicara. Aku menoleh ke arahnya, sorot matanya terlihat gentar menatapku.
"Hmm ?"
"Lo marah sama gue ?" ia menggeser tempat duduknya mendekat.
"Ngga kok, hahahaha" aku tertawa. Maksudku, konyol sekali, selama ini kupikir ia yang marah padaku, dan sekarang ia bertanya begitu ?
"Hmm" ia terdiam sejenak, matanya menelusuri sekeliling taman. "Terus kenapa lo diemin gue 9 hari ini ?!" lanjutnya. Aku terdiam. HELLO ???! 9 hari ini ? Siapa sih yang mendiamkan siapa ?!
"Pokoknya gue ga marah" aku masih mencoba tertawa padanya, ia menunduk lesu.
"Terus kalo ga marah namanya apaa ???" sesaat aku tercengang mendengar nada bicaranya, suaranya bergetar, bahunya terguncang, ah, sial ! Mengapa sih perempuan itu begitu merepotkan ! Aku kehilangan kata-kata. Aku bahkan tak tahu harus berbuat apa.

"9 hari ini gue capek tau ga nungguin SMS lo tiap malem ! Berharap lo nyapa gue ato apa kek ! Dan ternyata lo GA PEDULI !"
"Emang kalo peduli harus SMS yaa ?" aku melawan, berharap itu tidak terlalu menyakitkan untuk sekedar membela diriku sendiri.
"Lo bahkan ga nanyain kabar gue, ga dateng lagi ke kelas gue ! Maksud lo apa ?!" baru kali ini kulihat wajah Vello begitu merah, kedua bola matanya menatapku nanar, mengecamku dengan perasaan-perasaan bersalah. Serba salah tepatnya.

Vello berdiri dari tempatnya meninggalkan percakapan kami.
Tepat sebelum ia berlari, kutarik lengannya kencang agar wajahnya menghadap ke sini.
Dan detik berikutnya, yang bisa kulihat hanya lah genangan air mata mengalir di pipinya. Kenapa perempuan begitu mudah menangis ? Aku mulai menggerutu kesal.

"Apa ?!" Vello kembali membentak. 'Yaaa, apaa ? Aku kan..' Aku melepaskan tangannya perlahan.
Ia kembali berlari pergi, meninggalkanku sendiri, aku seperti bisa membaca pikirannya 'aku tak ingin melihat wajahmu lagi !' yaa, mungkin begitu.

Ia menghilang tertelan lintasan kendaraan bermotor yang entah sudah hitungan ke berapa saat ini.
Aku menganggap itu sebuah jawaban.
Kuraih HP dari saku seragam abu-abuku, menyambungkan koneksi internet, dan dalam hitungan detik aku mengganti status hubunganku di facebook menjadi single.
Kuanggap itu sebuah keputusan dari jawabannya.

*

Sudah 2 hari Vello tidak masuk sekolah. Sakit, katanya. Tapi aku tak percaya.
Apa pertengkaran kecil 3 hari yang lalu itu begitu menguras energinya ? Ah, kenapa perempuan begitu berlebihan menghadapi situasi seperti ini !

Tiba-tiba HPku bergetar.

'Kutunggu di taman'

Itu dari Vello. Apa lagi sih yang ingin ia bicarakan ?

Aku tiba di taman ketika matahari sedang terik-teriknya membakar muka bumi. Vello, ia bersama dengan Selly, teman se-gengnya yang lain. Apa ia takut menghadapiku sendiri ?
Vello terisak, Selly mengusap-usap punggungnya pelan seperti yang biasa kulakukan pada Vello, matanya menatapku marah.
"Heh ! Apa maksudnya sih lo tiba-tiba ngilang dan cuma mutusin di facebook aja ?! Kemana aja lo 3 hari ini ?!" Selly berdiri sambil mendorong bahuku. Meskipun lebih pendek, tapi energi dari sifat tomboynya mampu mendorongku 2 langkah ke belakang.
Tapi, halooo ? Siapa sih yang menghilang 3 hari ini ? Bahkan yang meninggalkan taman ini pertama dia kan ? Aku menatap Vello yang masih terisak.

"Apa urusan lo sama gue ?! Emang lo kenal gue ?! Ada hubungannya sama hidup gue ?!" aku menodongnya dengan tatapan sinis.
"Gue. SAHABAT. Vello ! Dan itu cukup buat jadi alesan gue ikut campur dalam masalah ini !" Selly tak terlihat gentar.
"Hahahaahahaha" aku tertawa menghina. "Buat apa lagi coba pacaran kalo kaya gini ? Selalu pengen dianggap bener ? Kekanak-kanakan banget sih !" kali ini Selly diam.
"Udah deh, lo vakum dulu aja dari dunia percintaan ! Perbaikin sifat childish lo, terus cari lagi cowo yang lebih baik dari gue ! Hahahaha !" sungguh aku tak ingin mengucapkan hal ini, aku hanya ingin bilang : Jadilah orang yang baik untuk menikmati hidup yan baik. Tapi Vello menangis lebih kencang lagi.
"Gue sayang elo Dean !!!" itu kalimat pertamanya sepanjang pertengkaran ini. Aku hanya tersenyum, apa ia bisa membaca isi hatiku ? 'and so do I...' kuharap ia mendengarnya. Aku tahu ia tidak.

"Udah puas sama penjelasannya ?" tanyaku dingin.
"Vell ?" Selly menatap Vello, Vello hanya mengangguk, tak berani menatap wajahku.
"Oke, see you next time ya" aku melambai pergi meninggalkan mereka. Buatku, ini pilhan terbaik.
Tak perlu ada perempuan yang tahu betapa berat aku melepaskan mereka, aku hanya ingin mereka bahagia.

Vello.
Semoga ketika kita bertemu lagi suatu hari nanti.
Di manapun dan kapanpun itu.
Kuharap kau sudah lebih dewasa dari sekarang.
Lalu, berbahagialah dengan hidupmu.
Karena lelaki bukan hanya diriku.
Dan doaku akan selalu menyertaimu

Aku menyelipkan catatan itu di bawah keramik sekolah yang lepas dalam keadaan utuh. Menyimpannya rapi, untuk kukenang beberapa puluh tahun lagi.

Satu cerita selesai.
Tapi cerita yang lain akan dimulai.
Hidup hanyalah drama buatan Tuhan.
Siapa yang tahu ?
Aku hanya melakukan yang kurasa baik.
Jangan marah padaku.
Tidak ada yang salah di antara kita.
Kalau mau, salahkan saja takdirnya !
Tapi kita kan sama-sama tahu.
Itu tak akan bisa...